Gereja dan LSM menentang deforestasi di Papua

02.00.00

Gereja dan LSM menentang deforestasi di Papua thumbnail
Lahan untuk perkebunan kelapa sawit.

Keuskupan Agung Merauke dan kelompok-kelompok masyarakat sipil telah menentang deforestasi besar-besaran oleh perusahaan kelapa sawit di Provinsi Papua dan Provinsi Maluku Utara.
Kelompok-kelompok masyarakat sipil: Mighty, Pusaka, European Federation for Transport and Environment, dan Korean Federation for Environmental Movement, merilis hasil investigasi mereka pada 1 September menunjukkan bahwa Korindo Group telah menghancurkan 50.000 hektar hutan untuk mengembangkan usahanya.
“Ini harus diakhiri sekarang. Penyelidikan memiliki bukti dari foto satelit, foto udara, dan investigasi lapangan,” kata Pastor Anselmus Amo, ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke.
“Korindo Group sering menuduh masyarakat setempat membakar hutan sambil berburu. Ini tidak benar,” tambahnya.
Menurut Pastor Amo, LSM-LSM tersebut telah meminta Kementerian Lingkungan Hidup, DPRD Papua dan Gubernur Papua untuk segera mengunjungi dan melihat kehancuran.
Bustar Maitar, Direktur Mighty Southeast Asia, mengatakan bahwa hutan dibakar oleh Korindo secara sistematis, merusak sagu, dan membunuh satwa yang dilindungi.
Direktur Pusaka Foundation, Y.L Franky mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa tahun 2013 perusahaan itu menghancurkan 30.000 hektar hutan, setengah dari hutan primer. Tahun lalu, Korindo membakar lagi hutan menimbulkan kabut asap menyebabkan penduduk setempat mnderita ISPA dan beberapa bayi meninggal.
“Mereka (sekarang) mengancam lagi 75.000 hektar hutan primer,” katanya.
0916h
Asap mengepul dari hutan selama operasi pembersihan lahan di Papua. 

Elisabet Ndiwen, seorang pemimpin suku di Merauke, mengatakan bahwa hutan di Papua secara tradisional dihuni oleh ratusan suku. Merusak hutan berarti mencabut mereka dari kehidupan dan budaya mereka.
“Saya menangis ketika saya melihat hutan hancur. Ini sadis. Tuhan menciptakan lingkungan dengan keindahannya, tetapi manusia menghancurkannya,” katanya.
“Orang-orang tidak dapat berbicara terkait kehancuran tersebut karena mereka takut dipukul oleh aparat pelindung perusahaan itu,” katanya.
Tahun 2014, mereka melaporkan masalah tersebut ke Komnas HAM, tetapi tidak mendapat jawaban.
Ndiwen mengatakan pemerintah daerah harus bertanggung jawab karena mereka tidak berkonsultasi dengan penduduk setempat ketika memberikan izin. “Hutan harus dilindungi, karena hutan itu adalah sumber mata pencaharian,” katanya.
Anggota DPRD Papua Musa Yeremias Kaibu mengatakan DPRD sedang menyusun peraturan yang akan melindungi hak-hak adat, meliputi perlindungan orang, hutan dan habitat.
“DPRD sedang menyusun peraturan dan akan menyelesaikannya sebelum akhir tahun ini,” katanya.
Juru Bicara Korindo Luwy Leunufna, juga warga Papua, membantah berbagai tuduhan. Dia mengatakan bahwa sejak awal operasinya di Papua, perusahaan itu telah mengikuti peraturan pemerintah dan tidak melakukan apa-apa di luar izin yang diberikan oleh Departemen Kehutanan.
“Tidak ada deforestasi. Ini tidak benar,” kata Leunufna kepada ucanews.com pada 14 September. “Saya kira ada kesalahpahaman dari istilah yang digunakan.”
Bahkan, kata dia, perusahaan itu mengerjakan jalan trans-Papua sepanjang 350 kilometer dari Merauke, yang berarti telah menjadi pelopor pembangunan infrastruktur di daerah-daerah terpencil.
“Selain itu, kami membuka daerah baru dengan membersihkan lahan, tidak membakarnya. Kami beroperasi setelah persetujuan dari masyarakat,” katanya.
Sumber: ucanews.com

You Might Also Like

0 komentar