Catatan Bersahaja Omah Kuldi: Jati, Kapal, Nasi Macan, dsb
01.00.00
Pohon jati (Ist)
“ADAKAH sesuatu yg baik dari Pantura?”
Kalau kita kurang familier dengan Pantura, itu bisa jadi karena kita terlalu sering dibombardir kisah dari Barat, dari Korea, dari Turki, dari Jakarta. Bisa jadi karena harta karun budaya Pantura yg amat melimpah kurang kita dhudhug lan dhudhah. Harta itu menunggu kita berperan sebagai penggali harta karun (treasure hunter). Kini izinkan saya menggali apa yg mungkin bagi sementara orang terkesan bersahaja.
Di antara kecamatan Gubug, Grobogan dan Salatiga ada sebuah daerah yg bernama Kedungjati. Nama ini seolah mengisyaratkan tipologi desa yang berangkat dari kenyataan ekologis; yakni suatu lembah dengan hamparan pohon jati di setiap jengkal tanahnya. Meski kesesuaian ideal itu kini tidak sepenuhnya bisa dipertahankan lagi, di sana kita masih bisa menaruh sejumput harapan bahwa di daerah itu ada local wisdom tentang habitat pohon jati.
Filosofi pohon jati
Jati, pohon berbatang besar yang dalam bahasa Latin disebut tectona gradis ini konon memang berasal dari Jawa. Memang ada juga hipotesis lain yang mengatakan bahwa dahulu kala orang laut pesisir Jawa mengimpor jati entah dari Pegu atau dari Malabar, tempat pohon jati telah terbukti ada jauh sebelumnya.
Jati yang dalam bahasa Jawa berarti “yang benar”, pohon yang “yang tidak ada duanya” itu di Nusantara ini hutannya senantiasa tidak pernah jauh dari pantai. Pohon itu juga di mana-mana dikenal dengan nama yang sama.
Di India juga diketemukan pohon serupa. Berbeda dengan jati Belanda (guazuma ulmifolia) dari Amerika tropik yang hanya mencapai ketinggian sepuluh meteran, jati Jawa bisa mencapai 45 meter. Batangnya mempunyai lingkaran-lingkaran tahun. Semakin tua, ia makin keras dan berkelas. Lingkaran tahun makin bertambah, keawetan dan kekuatan makin besar.
Tome Pires yang terkenal dengan karyanya Suma Oriental pernah memberi catatan tentang keistimewaan jati yang membentang sepanjang Pantai Utara Jawa di dekat Jepara dan Rembang. Raflles pun mencatat penyebaran hutan jati di Nusantara. Pada waktu Patih Unus mengirim armadanya ke Malaka bulan Januari 1513, bangsa Portugis maritim yang telah menjelajahi samudera dan melakukan serangkaian penaklukan di Hindia, mengakui bahwa armada yang dikirim Pati Unus dari Jepara itulah yang paling besar.
Prof. Denys Lombard membeberkan bahwa ada teks yang menyebutkan armada itu: kira seratus kapal, empat puluh jung dan enam puluh lancara, yang paling kecil berkapasitas 200 ton. Kurang lebih lima tahun diperlukan Patih Unus untuk membangunnya di galangan-galangannya di Pesisir. Ini menjadi bukti betapa luar biasanya besarnya kapal-kapal Jawa pada waktu itu.
Kapal itu merupakan ‘kapal tempur’ yang amat besar dengan papan-papannya berlapisan di semua sisi yang terbentuk dari papan tujuh lapis yang direkat satu sama lain dengan turap beraspal, bagaikan benteng yang tebal. Patih Unus mengandalkannya sebagai benteng apung guna memblokir daerah sekeliling Malaka. Dalam sepucuk surat yang ditulis kepada Alburquerque segera sesudah bentrokan senjata, Kapten Fernao Peres de Andrade yang harus bertahan terhadap serang itu, menegaskan bahwa jung besar itu mengangkut kira-kira seribu pejuang dan dibandingkan dengannya kapal Anunciada (salah satu kapal Portugis) “tidak lagi pantas lagi disebut kapal”.
“Peluru meriam kita yang palign besar pun” tulisnya ”tidak berhasil meneroosi badan kapal itu”.
Jati merupakan salah kekuatan besar dan bahan dasar untuk pembuatan kapal–kapal Patih Unus.
Alam ini memang misterius dan hadir penuh guna. Kalau Patih Unus mengandalkan pohon itu sebagai bahan utama kapal dan simbol kekuatan perlawanan dan kekuasaan politis, kini pohon keras ini ditanam orang demi pertimbangan kekuatan ekonomi. Ia ditanam dengan tujuan menjadi bahan bangunan yang classy, mahal harganya, juga bahan pembuatan alat rumah tangga, ukir-ukiran kualitas eksport serta karya seni yang membawa gengsi. Jati dikenal sebagai kayu berkualitas tinggi dan furniture yang mengagumkan.
Saya pernah punya tetangga di Quezon City, Manila yang membeli seluruh furniture rumahnya dari Jawa. Seluruhnya berbahan dasar jati.
Manfaat jati
Kini kita tahu bahwa orang menamamnya bukan pertama-tama sebagai pohon perindang yang diharapkan menjadi paru-paru dunia. Masih perlu beberapa tahun untuk mengajak orang memiliki ecology wisdom tentang pentingnya peran tumbuhan. Namun kita bersyukur orang mampu menangkap aneka manfaat dari pohon istimewa ini.
Daun-daun tunggalnya yang berbentuk bundar telur ini bisa bermanfaat untuk pewarna makanan, campuran obat atau sekedar pembungkus makanan, jadah, wajik, daging kurban atau bungkus nasi macan. Namun pohon berkelas ini tidak luput dari ulat. Ada jenis ulat, hybloea puera yang hidup pada pohon jati, menghabiskan daun-daunnya. Ulat itu turun dengan benangnya ke bawah dan berkepompong di timbunan daun-daun jati yang gugur. Kepompong (enthung) inilah yang di-dhukiri, diambil penduduk sekitar. Dimakan.
Manusia memang mahkluk yang memiliki daya adaptasi tinggi. Juga atas rasa enak makanan. Jauh di Negeri Paman Sam sana, kapitalis sibuk menduniakan segala makanan dengan prinsip, enak bagi Amerika, enak bagi dunia, di pedalaman Kedungjati ini, enthung tak kurang peminat fanatik. Bukan karena lebih enak. Ia telah merasuk dalam sistem pencernakan; membawa rasa puas dan kenyang tersendiri. Daging, kentang goreng, ayam goreng rasa Amerika itu bisa jadi tidak merusakkan sistem pencernakan. Sayang, makanan seperti itu belum tentu mengenyangkan.
Pohon jati merupakan sejenis pohon yang kurang memungkinkan tanaman produktif lain bisa tumbuh di bawahnya. Selain semak dan rerumputan, tidak dimungkinkan tanaman jagung, ketela, kacang-kacangan bisa tumbuh baik seiring sejalan dengan pohon-pohon jati.
Pola pertanian tumpang sari, memanfaatkan lahan yang sempit untuk beragam tanaman produktif tidak bisa diterapkan bersamaan pohon-pohon keras ini. Akarnya melebar ke areal tanah yang luas di sekitarnya, mencengkeram kuat, menghisap sari-sari tanah untuknya sendiri.
0 komentar